Perbedaan Gaya Kepemimpinan di Era Orde Baru dan Pasca Reformasi


ZAHRA MAHREVA BASUKI/201810050311071/Ilmu Pemerintahan B
Perbedaan Gaya Kepemimpinan di Era Orde Baru dan Pasca Reformasi

            Perbedaan yang mencolok di era Orde Baru dengan pasca Reformasi terletak pada kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Era Orde Baru identik dengan pemerintahan yang diktator, keikutsertaan TNI dalam pemerintahan dan berbagai aturan yang mengikat membuat ruang gerak pers menjadi terbatas, tidak ada kebebasan menyampaikan pendapat. Berbeda dengan era Orde Baru, pada masa Reformasi masyarakat bahkan pers bebas untuk menyampaikan pendapatnya. Masyarakat dapat memberikan saran sampai kritik kepada pemerintah secara terbuka, sementara Pers juga bebas dalam melakukan liputan dan mempublikasikannya selama memiliki SIUP atau Surat Ijin Usaha Penerbitan. Namun meskipun demikian perlu diakui pada saat tersebut tingkat keamanan di Indonesia sangatlah tinggi, rakyat dapat hidup dengan aman dan juga damai.
            Pada masa Orde Baru, birokrasi menempati posisi yang strategis dalam memainkan peran politiknya sebagai regulator, perumus kebijakan, pelaksana kebijakan sekaligus juga berperan melakukan evaluasi kebijakan hingga birokrasi menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang dominan dalam merumuskan berbagai kebijakan pembangunan. Pola birokrasi seperti itu kemudian melahirkan hubungan patrimonial yang sangat kuat dalam struktur birokrasi Indonesia. Pola hubungan yang terjadi juga lebih bersifat personal, di mana faktor kedekatan dan loyalitas pribadi menjadi prioritas daripada aturan-aturan legal-formal. Dalam konteks ini, lalu yang muncul adalah pola hubungan yang bersifat personal yang berdasarkan kekeluargaan, pertemanan, dan like and dislike dalam hal promosi jabatan. Indonesia  merupakan salah satu negara yang memiliki sistem politik yang menggerakkan birokrasi sebagai salah satu aktor utama dalam segala kegiatan politik. Terlebih lagi pada masa Orde Baru, birokrasi merupakan satu-satunya lembaga yang dapat melaksanakan kegiatan politik secara mandiri, dimana hampir semua kegiatan masyarakat di kontrol dan dikendalikan oleh birokrasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap proses pembuatan kebijakan di Indonesia bersifat birokratik (Mas’oed, 2008: 332).
            Demokrasi di era Reformasi ditandai dengan lengsernya pemerintahan Soeharto kemudian adanya pemilihan umum secara langsung, yakni pemilihan presiden dan wakilnya, pemilihan anggota DPR, PDP, DPRD, dan juga pemilihan kepala daerah yang menciptakan sebuah hubungan baru antara pemerintah pusat dan daerah melalui program Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Perkembangan demokrasi juga terlihat dari hubungan antara sipil-militer, yang menjunjung tinggi supremasi sipil dan hubungan TNI sebagai militer dengan Kepolisian NKRI (POLRI) terkait dengan hubungan dalam sebuah kewenangan dalam melaksanakan fungsi pertahanan dan juga kemanan kedulatan bangsa. Demokrasi pada masa reformasi terlihat dari telah berkembangnya kesadaran masyarakat mengenai partisipasinya dalam kehidupan perpolitikan nasionl. Yang juga menjadi jalan untuk terbukanya kesempatan untuk ikut dalam meningkatkan kehidupan politik dimasyarakat dengan bebas menyampaikan pendapat karena pers yang terbuka tidak seperti Orde Baru yang otoriter.
            Kiat sukses kepemimpinan kepala daerah pada masa orde baru ditandai dengan suksesnya berbagai program pemerintah yang telah dicanangkan seperti sukses transmigrasi, sukses KB, sukses memerangi butahuruf, sukses swasembada pangan, sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), sukses Gerakan Wajib Belajar, sukses keamanan dalam negeri, pengangguran minimum, dan investor asing mau menanamkan modal di Indonesia. Sedangkan pada masa Reformasi, gaya kepemimpinan yang digunakan adalah demokratik, di mana gaya kepemimpinan ini memberikan tanggungjawab dan wewenang kepada semua pihak, sehingga ikut terlibat aktif dalam organisasi, anggota diberi kesempatan untuk memberikan usul serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi. Gaya kepemimpinan ini memandang bawahan sebagai bagian dari keseluruhan organisasinya, sehingga mendapat tempat sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai tanggungjawab dan tugas untuk mengarahkan, mengontrol dan mengevaluasi serta mengkoordinasi. Usaha untuk memperoleh pengakuan yang tulus dari para bawahan atas kepemimpinan orang yang bersangkutan didasarkan kepada pembuktian kemampuan memimpin organisasi dengan efektif, bukan sekedar karena pemilikan wewenang formal berdasarkan pengangkatannya.

Komentar

  1. Aku setuju banget dah, gk perlu suap untuk mendapat perhatian. Cukup membuktikan kalau kita juga bisa dan hebat

    BalasHapus

Posting Komentar